Pendakian Pertama
Pendakian Pertama
Pada tahun 2012, saat itu saya masih seorang siswa tahun pertama di sekolah kejuruan. Malam ini adalah malam pertama saya mendaki gunung. Sesuai dengan rencana, saya berencana mendaki gunung bersama ayah. Setelah persiapan selesai, kami berencana untuk berangkat pada sore hari. Pukul dua sore, kami berkumpul dengan teman-teman untuk menyiapkan segala sesuatunya. Perasaan saya campur aduk antara gugup dan bersemangat.
Perlengkapan mendaki saya tidak sempurna, tetapi saya sudah bertekad untuk mencapai puncak gunung. Sekitar satu jam berjalan, kami tiba di pintu gerbang gunung, dan saat kami tiba, beberapa kelompok pendaki lainnya sudah menunggu dengan perlengkapan yang sederhana.
Pada waktu itu, mendaki gunung belum terlalu populer di Indonesia. Terutama Gunung Raung, yang sejak lama dikenal sebagai gunung yang misterius dan sering membuat pendaki tersesat. Kebetulan cuaca cerah, dan musim kemarau sedang berlangsung. Di daerah pegunungan, suhu akan turun drastis pada malam hari. Namun, saya tidak membawa jaket pendakian dan hanya mengenakan jaket biasa yang saya pakai untuk pergi ke sekolah. Sebelum mulai mendaki, tubuh saya sudah terasa sangat dingin, yang nantinya saya sesali.
Setelah menunggu sekitar 30 menit, semua orang akhirnya berkumpul dan kami membeli tiket pendakian. Kami juga diberi beberapa nasihat, seperti hal-hal yang sebaiknya dilakukan dan yang harus dihindari. Misalnya, jika kabut mulai muncul, kami tidak boleh melanjutkan perjalanan dan harus berhenti. Dikatakan bahwa jika kabut muncul, makhluk-makhluk tak terlihat bisa muncul, yang membuat saya sedikit merasa takut. Namun, saya mencoba untuk tetap fokus dan berhati-hati.
Akhirnya, perjalanan mendaki pun dimulai. Kami memulai dengan berdoa, menyesuaikan barang bawaan, dan mengambil foto kenangan. Setidaknya, jika terjadi sesuatu, saya bisa menunjukkan foto itu kepada keluarga saya.
Malam semakin larut dan suhu semakin dingin. Kami terus melangkah perlahan. Hutan terasa sangat sunyi dan gelap, tertutup oleh kegelapan malam. Kami sangat berhati-hati dengan kata-kata, seperti yang telah disarankan.
Sekejap, saya merasa perjalanan ini akan mudah, dan berpikir, "Saya pasti bisa sampai ke puncak." Namun, saat baru setengah perjalanan, tubuh saya tiba-tiba tidak bisa bergerak, dan dada saya mulai terasa sakit. Kepercayaan diri saya hancur seketika.
Saya berusaha sekuat tenaga untuk terus berjalan, tetapi suhu semakin turun, rasa takut dan kelelahan menghalangi konsentrasi saya. Saya merasa mengantuk dan berpikir, "Jika saya terus seperti ini, saya mungkin tidak bisa melanjutkan perjalanan."
Ayah saya tetap diam, merawat saya dengan tenang. Saya tidak bisa digendong, dan tubuh saya terasa sangat lelah. Saya menyadari bahwa mendaki gunung memang sangat berat, terutama bagi pemula seperti saya. Air yang saya bawa terasa sangat dingin dan sulit untuk diminum, sementara ubi rebus yang saya bawa pun terasa sulit untuk dimakan.
Setelah beberapa jam, sedikit demi sedikit saya mulai merasa lebih baik. Dengan susah payah, kami terus melangkah. Saya merasa sedikit malu karena merasa lemah di tengah perjalanan. Saat malam semakin mendalam, kami akhirnya tiba di sebuah kedai kecil yang berada dekat puncak gunung. Namun, kami masih belum sampai puncak, dan di depan kedai itu, kami hanya bisa berbaring dan beristirahat.
Pagi pun tiba. Ketika matahari mulai terbit, kedai itu mulai buka. Kami merasakan kehangatan sinar matahari di tubuh kami. Ayah saya memesan minuman hangat, dan saya merasa sangat bersyukur bisa sampai sejauh ini, meskipun saya merasa tidak tahu apakah orang yang mengelola kedai itu tahu betapa berharganya pertolongan mereka bagi saya.
Menjelang siang, sedikit demi sedikit tubuh saya mulai merasa lebih segar. Saya tidak bisa mengatakan bahwa saya sudah sepenuhnya pulih, tetapi setidaknya saya sudah bisa berbicara dengan orang lain dan makan dengan lebih baik. Mendaki gunung terasa lebih mudah saat turun, meskipun lebih menantang saat harus mendaki.
Meskipun ini adalah pengalaman yang sangat menakutkan, sejak saat itu saya mulai menjadikan mendaki gunung sebagai hobi. Saya sudah mendaki beberapa kali dengan rute yang sama, dan yang saya pelajari adalah bahwa "kita tidak boleh pernah menganggap remeh alam."
Sufyan Abdurro'uf lahir pada tanggal 31 Maret 1996 di Magetan, Jawa Timur. Ia masuk SDIT Al-Ikhlas, kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Karangrejo, dan setelah itu, ia mengambil jurusan Teknik Peralatan Listrik di SMKN 1 Bendo di kota yang sama. Dari tahun 2016 hingga 2021, ia bekerja di Jepang sebagai magang keterampilan. Saat ini, ia bekerja sebagai pengajar bahasa Jepang di LPK di Ngawi, Jawa Timur. Sufyan memiliki sertifikat JLPT N2 dan juga kualifikasi sebagai pengajar bahasa Jepang.
Versi Bahasa Jepang
お初めての登山
2012年、その時私はまだ専門学校の1年生でした。今晩は初めての登山の夜です。計画通り、お父さんと一緒に山登りをしようと思っています。準備ができたら午後から出発する予定で、午後2時にみんなと集まって改めて準備を整えます。気持ちは緊張とわくわくが入り混じっています。
登山の道具はそれほど完璧ではありませんでしたが、山の頂上までたどり着くという決心はありました。1時間ほど歩くと山の入口に着き、私たちがそこに着いたときには、すでにいくつかのグループが簡単な装備で待っていました。
当時、インドネシアでは登山はあまり人気がありませんでした。特にラウ山は昔から神秘的な山として知られており、登山者を迷わせることも多いのです。ちょうど天気は晴れていて、季節は乾季でした。高地では夜になると気温が下がります。とはいえ、私は登山用のジャンパーを持っておらず、普段学校に通っていたジャンパーを着て行きました。登る前から体がすごく冷えていて、後でそれが後悔になるとは思いもしませんでした。
30分ほど待ってみんなが集まると、チケットを買いに行きました。そこでいくつかのアドバイスをもらいました。すべきことや禁止されている行動についてです。例えば、霞(かすみ)が出たら絶対に歩かないことや、愚痴を言いすぎないことなど。霞が現れると、獣や目に見えないものが出てくると言われ、少し怖くなりましたが、より注意しようと思いました。
さあ、いよいよ登山の旅が始まります。まずはお祈りをして、荷物を調節し、記念写真も撮りました。万が一嫌なことがあっても、せめて最後に写真だけでも家族に見せられるようにと思ったのです。
日が暮れて、夕暮れの冷たさが増してきます。一歩一歩足を進めます。森は妙に静かで、夜の闇に包まれていました。私たちは言われた通り、言葉に気をつけていました。
私は一瞬、この旅を甘く見てしまい、「絶対に頂上まで行ける」と思っていました。しかし、まだルートの半分も進んでいないときに、急に体が動かなくなり、心臓も痛くなりました。さっきまでの自信は砕け散りました。
必死に体を引きずりながら進みます。気温もどんどん下がり、恐怖と疲労で集中力が妨げられ、不思議な眠気に襲われました。「このままでは続けられないかもしれない」と思いました。
お父さんは無口で私の世話をしてくれました。おんぶもできず、冷えた体は限界に近づいていました。登山は初心者にとって本当に大変だと感じました。持ってきた水は冷たくてなかなか飲めず、茹でたジャガイモも食べにくかったです。
数時間かけて、少しずつ這うようにして歩きました。自分が情けなくも思えました。夜も更け、ようやく頂上近くに建てられた喫茶店にたどり着きました。しかし、まだ朝には遠く、店の前でそのまま横になりました。眠ったまま夜を過ごし、足と体をプラスチックで包みました。
やがて夜明けが来ました。日が昇ると喫茶店も営業を始め、太陽の光で体を温めました。お父さんは飲み物を注文しました。この店の主人はおそらく、自分がどれほど私の命を救ったのか理解していなかったでしょうが、そこにいるだけで本当に感謝しています。
昼が進むにつれて、少しずつ力が戻ってきました。命にかかわる経験をした翌日にもかかわらず、みんなと普通に話したり朝食をとったりできました。山を下るのは遅かったですが、登るよりは全然楽でした。
まさに恐ろしい経験でしたが、あの時から登山が趣味になりました。同じルートを何度も歩きましたが、学んだことは「絶対に自然を甘く見てはいけない」ということです。
スフィアン・アブドゥルロウフ(Sufyan Abdurro’uf)は、1996年3月31日にインドネシアの東ジャワ州マゲタンで生まれました。彼はSDITアル・イクラスに入学後、SMPN 1カルンレジョに進学し、その後、同市内のSMKN 1ベンドで電力設備工学を専攻しました。2016年から2021年まで、日本で技能実習生として勤務し、その後、現在は東ジャワ州ナギウのLPKで日本語教師として働いています。彼は日本語能力試験2級を取得しており、日本語教師の資格も保有しています。
Romaji:
2012-nen, sono toki watashi wa mada senmon gakkō no ichi-nensei deshita. Konban wa hajimete no tozan no yoru desu. Keikaku dōri, otōsan to issho ni yamanobori o shiyou to omotteimasu. Junbi ga dekitara gogo kara shuppatsu suru yotei de, gogo ni-ji ni minna to atsumatte aratamete junbi o totonoemasu. Kimochi wa kinchō to wakuwaku ga irimajitteimasu.
Tozan no dōgu wa sore hodo kanpeki de wa arimasen deshita ga, yama no chōjō made tadoritsuku to iu kesshin wa arimashita. Ichi-jikan hodo aruku to yama no iriguchi ni tsuki, watashitachi ga soko ni tsuita toki ni wa, sudeni ikutsuka no gurūpu ga kantan na sōbi de matteimashita.
Tōji, Indonesia de wa tozan wa amari ninki ga arimasen deshita. Tokuni Rau-san wa mukashi kara shinpiteki na yama toshite shirarete ori, tozansha o mayowaseru koto mo ōi no desu. Chōdo tenki wa hareteite, kisetsu wa kanki deshita. Kōchi de wa yoru ni naru to kion ga sagarimasu. To wa ie, watashi wa tozan-yō no janpā o motte orazu, fudan gakkō ni kayotte ita janpā o kite ikimashita. Noboru mae kara karada ga sugoku hieteite, ato de sore ga kōkai ni naru to wa omoimashendeshita.
San-juppun hodo matte minna ga atsumaru to, chiketto o kai ni ikimashita. Soko de ikutsuka no adobaisu o moraimashita. Subeki koto ya kinshi sarete iru kōdō ni tsuite desu. Tatoeba, kasumi ga detara zettai ni arukanai koto ya, guchi o iisuginai koto nado. Kasumi ga arawareru to, kemono ya me ni mienai mono ga detekuru to iware, sukoshi kowaku narimashita ga, yori chūi shiyou to omoimashita.
Saa, iyoiyo tozan no tabi ga hajimarimasu. Mazu wa oinori o shite, nimotsu o chōsetsu shi, kinen shashin mo torimashita. Man ga ichi iya na koto ga atte mo, semete saigo ni shashin dake demo kazoku ni miserareru yō ni to omotta no desu.
Hi ga kurete, yūgure no tsumetasa ga mashite kimasu. Ippo ippo ashi o susumemasu. Mori wa myō ni shizukade, yoru no yami ni tsutsumarete imashita. Watashitachi wa iwareta tōri, kotoba ni ki o tsukete imashita.
Watashi wa isshun, kono tabi o amaku mite shimai, “zettai ni chōjō made ikeru” to omotteimashita. Shikashi, mada rūto no hanbun mo susunde inai toki ni, kyū ni karada ga ugokanaku nari, shinzō mo itaku narimashita. Sakki made no jishin wa kudakechirimashita.
Hisshi ni karada o hikizuri nagara susumimasu. Kion mo dondon sagari, kyōfu to hirō de shūchūryoku ga samatagete, fushigi na nemuke ni osowaremashita. “Kono mama de wa tsuzukerarenai kamo shirenai” to omoimashita.
Otōsan wa mukuchi de watashi no sewa o shite kuremashita. Onbu mo dekizu, hieta karada wa genkai ni chikazuite imashita. Tozan wa shoshinsha ni totte hontō ni taihen da to kanjimashita. Mottekita mizu wa tsumetakute nakanaka nomezu, yudeta jagaimo mo tabenikukatta desu.
Sū-jikan kakete, sukoshi zutsu hau yō ni shite arukimashita. Jibun ga nasakenaku mo omoemashita. Yoru mo fukete, yōyaku chōjō chikaku ni taterareta kissaten ni tadoritsukimashita. Shikashi, mada asa ni wa tōku, mise no mae de sono mama yoko ni narimashita. Nemutta mama yoru o sugoshi, ashi to karada o purasuchikku de tsutsumimashita.
Yagate yoake ga kimashita. Hi ga noboru to kissaten mo eigyō o hajime, taiyō no hikari de karada o atatamemashita. Otōsan wa nomimono o chūmon shimashita. Kono mise no shujin wa osoraku, jibun ga dore hodo watashi no inochi o sukutta no ka rikai shite inakatta deshō ga, soko ni iru dake de hontō ni kansha shiteimasu.
Hiru ga susumu ni tsurete, sukoshi zutsu chikara ga modotte kimashita. Inochi ni kakawaru keiken o shita yokujitsu ni mo kakawarazu, minna to futsū ni hanashitari chōshoku o tottari dekimashita. Yama o kudaru no wa osokatta desu ga, noboru yori wa zenzen raku deshita.
Masani osoroshii keiken deshita ga, ano toki kara tozan ga shumi ni narimashita. Onaji rūto o nando mo arukimashita ga, mananda koto wa “zettai ni shizen o amaku mite wa ikenai” to iu koto desu.
Hissha ni tsuite
Sufyan Abdurro'uf wa 1996-nen 3-gatsu 31-nichi ni Higashi Jawa no Magetan de umaremashita. Kare wa SDIT Al-Ikhlas ni nyūgaku shi, sono ato SMPN 1 Karangrejo ni shingaku, soshite sono ato, SMKN 1 Bendo de Denki Setsubi Kōgaku o senkō shimashita. 2016-nen kara 2021-nen made, Nihon de gino jisshūsei toshite hatarakimashita. Genzai wa Higashi Jawa no Ngawi no LPK de Nihongo kyōshi toshite hataraiteimasu. Sufyan wa Nihongo Nōryoku Shiken N2 no shōmeisho o shūtokushiteori, Nihongo kyōshi no shikaku mo ho yū shiteimasu.
Versi Bahasa Inggris
My First Mountain Climb
In 2012, I was still a first-year student at a vocational school. Tonight was the night of my very first mountain climb. As planned, I was going to climb the mountain with my father. Once we finished our preparations, we planned to depart in the afternoon, meeting everyone again at 2 PM to finalize everything. My feelings were a mix of nervousness and excitement.
Our mountain gear wasn’t perfect, but I was determined to reach the summit. After walking for about an hour, we arrived at the mountain entrance, and by the time we got there, several groups with simple gear were already waiting.
At the time, mountain climbing wasn’t very popular in Indonesia. Especially Mount Lawu, which has long been known as a mystical mountain, often said to mislead climbers. The weather was clear, and it was the dry season. In the highlands, the temperature drops at night. I didn’t have a proper climbing jacket, so I wore my school jacket instead. I had no idea that I would regret that later, as I was already freezing before the climb even began.
After waiting for about 30 minutes, everyone gathered and went to buy tickets. We received some advice about what to do and what not to do. For example, “Don’t walk if mist appears” and “Don’t complain too much.” They said that when mist appears, beasts or invisible things may show up. That scared me a little, but I decided to be more careful.
And so, the journey began. We prayed, adjusted our bags, and took commemorative photos. I thought, “If something bad happens, at least they’ll have a photo of me.”
As the sun set, the chill of dusk deepened. We took one step after another. The forest was eerily quiet and enveloped in night’s darkness. Just as we were told, we were mindful of our words.
For a moment, I underestimated the journey and thought, “I can definitely reach the summit.” But before even reaching halfway, my body suddenly stopped moving and my heart hurt. My confidence shattered completely.
I dragged myself forward with all my might. The temperature kept dropping, and fear and exhaustion messed with my focus. I was overcome with a strange drowsiness. I thought, “I might not be able to go on like this.”
My father silently took care of me. He couldn’t carry me, and my cold body was nearing its limit. I realized how hard mountain climbing is for a beginner. The water I brought was too cold to drink, and the boiled potatoes were hard to eat.
We walked for hours, crawling little by little. I felt pathetic. As the night deepened, we finally reached a small teahouse near the summit. But dawn was still far off, so I lay down in front of the shop and spent the night asleep, wrapping my feet and body in plastic.
Eventually, dawn broke. As the sun rose, the teahouse opened, and I warmed my body in the sunlight. My father ordered some drinks. The owner of the teahouse probably didn’t realize how much he had saved my life, but I was deeply grateful just for being there.
As the day progressed, my strength slowly returned. Even after such a life-threatening experience, I was able to chat and have breakfast with everyone the next day. The descent was slow, but far easier than the climb.
It was truly a terrifying experience, but from that day on, mountain climbing became my hobby. I’ve walked that same route many times, and what I learned was: never underestimate nature.
About the Author
Sufyan Abdurro’uf was born on March 31, 1996, in Magetan, East Java, Indonesia. After enrolling at SDIT Al-Ikhlas, he continued his education at SMPN 1 Karangrejo and later majored in Electrical Power Engineering at SMKN 1 Bendo in the same city. From 2016 to 2021, he worked in Japan as a technical intern. Currently, he works as a Japanese language teacher at LPK in Ngawi, East Java. He holds the Japanese Language Proficiency Test (JLPT) N2 certification and is also a certified Japanese language teacher.
Komentar
Posting Komentar