Permen Pengasuhan Hantu

Karya:
 
Saya telah tinggal di Jepang selama lima tahun. Saya datang dengan visa pemagang teknis dan sekarang tinggal dengan visa keterampilan khusus, bekerja di fasilitas perawatan lansia. Namun, saya belum pernah mengalami kejadian horor atau misteri secara langsung di Jepang.

Akan tetapi, di tempat kerja saya sekarang, saya sering mendengar cerita-cerita menyeramkan atau kisah misterius. Cerita-cerita itu disampaikan oleh para lansia yang saya rawat, dan meskipun saya tidak tahu apakah itu benar-benar terjadi atau tidak, ceritanya sangat menarik. Kali ini, saya ingin berbagi salah satu cerita yang paling membekas di hati saya.

Ini adalah kisah yang konon terjadi sekitar 400 tahun yang lalu di Kyoto. Kyoto yang penuh sejarah memiliki banyak tempat wisata yang terkait dengan legenda dan cerita misterius setempat. Di antaranya, ada kisah hantu yang menyentuh hati dan menggambarkan bahwa "cinta ibu itu abadi."

Dahulu kala, di zaman Edo, ada sebuah toko permen. Suatu malam setelah toko tutup, seseorang mengetuk pintu dengan bunyi “tok tok”. Ketika pemilik membuka pintu, ia mendapati seorang wanita berdiri di sana dan berkata:

"Tolong jualkan permen. Saya sangat ingin makan permen."

Meski merasa curiga, sang pemilik tetap bertanya:

"Malam-malam begini, hanya untuk membeli permen?"

"Iya, saya sangat menginginkannya…" jawab wanita itu.

Akhirnya, pemilik toko berkata, "Baiklah, saya jual satu saja," lalu menjual permen itu.

Keesokan malamnya, wanita yang sama datang lagi di waktu yang sama dan berkata:

"Tolong berikan saya permen."

Ketika ditanya apakah dia membawa uang, wanita itu berkata:

"Maaf, saya tidak membawa uang."

Pemilik toko marah, "Kalau tidak ada uang, saya tidak bisa memberimu permen! Jangan datang malam-malam begini!"

Namun wanita itu dengan tenang melepaskan kimono-nya dan berkata:

"Bolehkah saya menukar kimono ini dengan permen?"

Sang pemilik setuju dan berkata, "Baiklah, saya akan ambil kimono ini dan menukar sesuai nilainya dengan permen."

Keesokan harinya, ia mencuci kimono itu dan menjemurnya di depan toko. Seorang pria yang lewat melihat kimono itu, lalu masuk dan bertanya:

"Di mana Anda mendapatkan kimono itu?"

Setelah mendengar ceritanya, pria itu pucat dan berkata dengan gemetar:

"Belakangan ini, adik perempuan saya meninggal dunia. Kimono itu persis seperti yang dikenakannya saat dimakamkan."

Mendengar itu, pemilik toko merasa curiga dan berkata, "Kalau begitu, mungkin wanita itu adalah adikmu. Jika dia datang lagi, aku akan mengikutinya."

Malam berikutnya, wanita itu datang kembali. Pemilik toko bertanya:

"Kau masih ingin permen?"

"Ya," jawab wanita itu.

"Kali ini, aku akan memberikannya secara gratis." Setelah menerima permen, wanita itu mengucapkan terima kasih dan langsung menghilang.

Pemilik toko diam-diam mengikutinya hingga ke sebuah makam di dekat kuil. Ia bertanya-tanya, "Apakah wanita itu makan permen di dalam makam?" Saat itu, terdengar suara tangisan bayi. Kaget, pemilik toko lari pulang.

Keesokan harinya, pemilik toko bersama pria tadi pergi ke kuil itu dan kembali mendengar suara tangisan bayi. Setelah diselidiki, mereka menemukan bayi di dalam kuil.

Ternyata, wanita itu meninggal dalam keadaan hamil karena sakit. Tidak ada yang tahu, tapi bayi itu lahir hidup secara ajaib.

Bayi itu kemudian dibesarkan oleh kakak laki-lakinya dan tumbuh besar menjadi seorang biksu di kuil tersebut.

Kasih sayang seorang ibu melampaui kematian, melindungi dan membimbing anaknya.
Doa sang ibu agar anaknya menjadi biksu sampai ke surga dan menjadi kenyataan.

Sebagai penghormatan terhadap legenda ini, hingga kini masih ada permen bernama “Yūrei Kosodate Ame” di Kyoto. Toko permennya masih beroperasi, bahkan kuil tersebut pun menjual permen itu.


Tentang Penulis
Fahrul Rozi lahir di Indramayu pada tanggal 22 Juni 1989. Saat ini, ia bekerja di Jepang sebagai perawat lansia. Pendidikan dasar ia tempuh di SDN 1 Patrol, Indramayu. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan agama di Pondok Pesantren Al-Mu’minien, Indramayu, dan kemudian di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, Bogor.

Fahrul menempuh pendidikan formal dan nonformal di lingkungan pesantren hingga mencapai semester 4 perguruan tinggi. Namun, karena beberapa kendala, ia tidak dapat melanjutkan studi saat itu. Sejak itu, ia telah menjalani berbagai profesi, antara lain sebagai pedagang, teknisi ponsel, pekerja konstruksi, karyawan pabrik dan toko, serta guru Bahasa Jepang. Kini, ia menetap di Jepang dan bekerja sebagai perawat lansia.

Saat ini, Fahrul sedang menempuh pendidikan S1 Program Studi Sastra Jepang di Universitas Ngudi Waluyo dan telah memasuki semester 4. Tulisan ini disusun sebagai tugas Ujian Tengah Semester (UTS) untuk mata kuliah Honyaku Tsuyaku, yang diampu oleh Bapak Teguh Santoso, S.Hum., M.Hum.

Fahrul telah memperoleh sertifikat JLPT N2 di Jepang dan kini sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian nasional Kaigo yang akan dilaksanakan pada Januari 2026.

Versi Bahasa Jepang

幽霊子育て飴

私は日本に来てから五年になります。技能実習生ビザと特定技能ビザで日本に滞在し、現在は介護施設で働いています。しかし、日本でホラーやミステリーのような体験をしたことは一度もありませんでした。

ところが、今の職場である介護施設では、怖い話や不思議な体験談をよく耳にします。それらは、私が介護しているおじいさんやおばあさんたちが語ってくれたもので、実際に起こったことかどうかは分かりませんが、とても興味深いお話です。今回は、その中でも特に印象に残ったお話を紹介させていただきたいと思います。

これは、約400年前の京都で起きたと言われている物語です。歴史の深い京都には、地元の伝説や不思議な話に関係する観光地も多くあります。その中の一つに、「母の愛は永遠に続く」ということを感じさせる感動的な心霊話がありました。

昔々、江戸時代に一軒の飴屋がありました。ある晩、店が閉まった後、誰かが「トントン」とドアをノックしました。出てみると、そこには一人の女性が立っており、こう言いました。

「キャンディーを売ってください。どうしても飴が欲しいのです。」

不審に思いながらも、店主はドアを開けて尋ねました。

「こんな夜中に、飴を買いに来たのですか?」

「はい、どうしても飴が欲しくて……」と女性は答えました。

仕方なく、店主は「じゃあ、一つだけですが」と言って飴を売りました。

その翌晩、また同じ時間にドアがノックされ、昨晩と同じ女性が現れました。

「キャンディーをください」と女性が言いました。

店主が「お金は持っていますか?」と聞くと、女性は申し訳なさそうに「すみません、今日はお金がありません」と答えました。

「お金がなければ売れませんよ!夜中に来られても困ります!」と、店主は少し怒り気味に言いました。

すると女性は静かに自分の着物を脱ぎながら言いました。

「この着物を飴と交換してもいいでしょうか?」

店主は驚きながらも、「わかりました。それではその着物と引き換えに、値段分の飴を差し上げます」と言って飴を渡しました。

翌日、その着物を洗って店の前に干しておいたところ、通りすがりの男性がその着物を見て驚いた様子で店に入ってきました。

「あの着物は、どこで手に入れたのですか?」と店主に尋ねました。

店主が事情を説明すると、男性の顔は青ざめ、震えながらこう言いました。

「実は、最近妹を亡くしましたが、その着物は妹が埋葬されたときに着ていたものとそっくりです。」

それを聞いた店主は、「もしかすると、飴を買いに来たのはあなたの妹さんだったのかもしれません。もしまた来たら、今度は後をつけてみよう」と思いました。

その夜も、同じようにノックの音がし、女性が現れました。

「キャンディーが欲しいですか?」と店主が聞くと、「はい」と女性は答えました。

「今日は無料で差し上げます」と言って飴を渡すと、女性は「ありがとうございます」と言ってその場を離れ、姿を消しました。

店主はこっそり女性の後をつけ、最終的にお寺の近くの墓地にたどり着きました。「あの女性は、墓の中で飴を食べているのだろうか?」と疑問に思ったそのとき、「ああああ」という赤ちゃんの泣き声が聞こえてきました。驚いた店主は、急いで自宅へ戻りました。

翌日、店主は先日来た男性と共に再びお寺を訪れると、また赤ちゃんの泣き声が聞こえてきました。調べてみると、お寺の中に本当に赤ちゃんがいたのです。

実は、その女性は妊娠中に病気で亡くなったのですが、誰にも気づかれず、赤ちゃんだけが奇跡的に生きたまま生まれていたのです。

赤ちゃんはその後、女性の兄に引き取られ、立派に育てられました。そして、大人になった彼は、あの寺のお坊さんになったと言われています。

母の愛は死を越えて、子を守り導くものです。「僧侶になりなさい」という母の願いは、天国からの祈りとなって届き、現実になったのでしょう。

この伝説にちなみ、現在も京都には「幽霊子育て飴(ゆうれいこそだてあめ)」という飴が残されています。飴屋は今でも営業しており、お寺でも飴が売られているそうです。

著者について
ファルル・ロジは1989年6月22日にインドラマユで生まれました。現在は日本で介護職として働いています。初等教育はインドラマユのSDN 1 Patrolで修了しました。その後、宗教教育をインドラマユのアルムミニエン・イスラム寄宿学校とボゴールのアルアシュリヤ・ヌルルイマン・イスラム寄宿学校で受けました。

ファルルは寄宿学校での正式および非正式な教育を大学4学期まで修了しましたが、いくつかの事情により進学を続けることができませんでした。その後、商人、携帯電話技術者、建設作業員、工場および店舗従業員、日本語教師など様々な職業を経験し、現在は日本で介護職として働いています。

現在、グディ・ワリョ大学の日本文学学士課程4学期に在籍しており、この文章はテグ・サントソ先生(文学士、文学修士)が担当する翻訳通訳論の中間試験の課題として作成されました。

また、日本で日本語能力試験(JLPT)N2を取得しており、2026年1月に実施される国家介護試験の準備をしています。

 

Romaji:

Watashi wa Nihon ni kite kara go-nen ni narimasu. Ginō jisshūsei biza to tokutei ginō biza de Nihon ni taizai shi, genzai wa kaigo shisetsu de hataraiteimasu. Shikashi, Nihon de hōrā ya misuterī no yōna taiken o shita koto wa ichido mo arimasen deshita.

Tokoro ga, ima no shokuba de aru kaigo shisetsu de wa, kowai hanashi ya fushigi na taikendan o yoku mimi ni shimasu. Sorera wa, watashi ga kaigo shite iru ojiisan ya obaasan-tachi ga katatte kureta mono de, jissai ni okotta koto ka dō ka wa wakarimasen ga, totemo kyōmi-bukai ohanashi desu. Konkai wa, sono naka demo tokuni inshō ni nokotta ohanashi o shōkai sasete itadakitai to omoimasu.

Kore wa, yaku 400-nen mae no Kyōto de okita to iwarete iru monogatari desu. Rekishi no fukai Kyōto ni wa, jimoto no densetsu ya fushigi na hanashi ni kankei suru kankōchi mo ōku arimasu. Sono naka no hitotsu ni, "haha no ai wa eien ni tsuzuku" to iu koto o kanjisasete kureru kandō-teki na shinrei-banashi ga arimashita.

Mukashi mukashi, Edo jidai ni ikken no ameya ga arimashita. Aru ban, mise ga shimatta nochi, dareka ga “ton ton” to doa o nokku shimashita. Dete miru to, soko ni wa hitori no josei ga tatteori, kō iimashita:

“Kyandī o utte kudasai. Dōshitemo ame ga hoshī n desu.”

Fushin ni omoihinagara mo, tenshu wa doa o akete tazunemashita.

“Konna yonaka ni, ame o kai ni kita no desu ka?”

“Hai, dōshitemo ame ga hoshikute……” to josei wa kotaemashita.

Shikata naku, tenshu wa “Jā, hitotsu dake desu ga” to itte ame o urimashita.

Sono yokujitsu no ban mo, onaji jikan ni doa ga nokku sare, kinō to onaji josei ga arawaremashita.

“Kyandī o kudasai,” to josei wa iimashita.

Tenshu ga “Okane wa motte imasu ka?” to kiku to, josei wa shitsurei-sō ni “Sumimasen, kyō wa okane ga arimasen, to kotaemashita.

“Okane ga nakereba uremasen yo! Yonaka ni koraretemo komarimasu!” to, tenshu wa sukoshi okorigimi ni iimashita.

Soko de josei wa shizuka ni jibun no kimono o nugi nagara iimashita:

“Kono kimono o ame to kōkan shite mo ii deshō ka?”

Tenshu wa odoroki nagara mo, “Wakarimashita. Sore de wa sono kimono to hikikae ni, nedan-bun no ame o sashiagemasu” to itte ame o watashimashita.

Yokujitsu, sono kimono o aratte mise no mae ni hoshi te oita tokoro, tōrisugatta dansei ga sono kimono o mite odoroi ta yōsu de mise ni haitte kimashita.

“Ano kimono wa, doko de te ni iremashita ka?” to tenshu ni tazunemashita.

Tenshu ga jijō o setsumei suru to, dansei no kao wa aosa me, furue nagara kō iimashita:

“Jitsu wa, saikin imōto o nakushimashita ga, sono kimono wa imōto ga maisō sareta toki ni kite ita mono to sokkuri desu.”

Sore o kiita tenshu wa, “Moshikashitara, ame o kai ni kita no wa anata no imōto-san datta no kamo shiremasen. Moshi mata kitara, kondo wa ato o tsukete mimashō,” to omoimashita.

Sono yoru mo, onaji yō ni nokku no oto ga shi, josei ga arawaremashita.

“Kyandī ga hoshii desu ka?” to tenshu ga kiku to, “Hai,” to josei wa kotaemashita.

“Kyō wa muryō de sashiagemasu” to itte ame o watasu to, josei wa “Arigatō gozaimasu” to itte sono ba o hanare, sugata o kiesasemashita.

Tenshu wa kossori josei no ato o tsukete, saishūteki ni otera no chikaku no haka made tadoritsukimashita. “Ano josei wa, haka no naka de ame o tabete iru no darō ka?” to utagatta sono toki, “Aaaah! to akachan no nakigoe ga kikoete kimashita. Odoroita tenshu wa, isoide jitaku ni modorimashita.

Yokujitsu, tenshu wa saki no dansei to issho ni futatabi otera o otozure, mata akachan no nakigoe ga kikoete kimashita. Shirabete miru to, otera no naka ni hontō ni akachan ga ita no desu.

Jitsu wa, sono josei wa ninshin-chū ni byōki de nakunatta no desu ga, dare mo kizukazu, akachan dake ga kiseki-teki ni ikita mama umarete ita no desu.

Akachan wa sono ato, josei no ani ni hikitorare, rippa ni sodateraremashita. Soshite, otona ni natta kare wa, ano otera no obōsan ni natta to iwareteimasu.

Haha no ai wa shi o koete, ko o mamori michibiku mono desu.
“Sōryo ni narinasai” to iu haha no negai wa, tengoku kara no inori to natte todoki, genjitsu ni natta node shou.

Kono densetsu ni chinami, genzai mo Kyōto ni wa "Yūrei Kosodate Ame" to iu ame ga nokosareteimasu. Ameya wa ima demo eigyō shite ori, otera demo ame ga utarete iru sō desu.

Chosha ni tsuite
Faruru Roji wa 1989-nen 6-gatsu 22-nichi ni Indoramayu de umaremashita. Genzai wa Nihon de kaigo-shoku to shite hataraiteimasu. Shoto kyoiku wa Indoramayu no SDN 1 Patrol de shuryou shimashita. Sono ato, shukyo kyoiku o Indoramayu no Aru-Muminien Isuramu Kishuku Gakkou to Bogoru no Aru-Ashuriya Nururu Iman Isuramu Kishuku Gakkou de ukemashita.

Faruru wa kishuku gakkou de no seishiki oyobi hiseishiki na kyoiku o daigaku 4 gakki made shuryou shimashiga, ikutsu ka no jijou ni yori shingaku o tsudzukeru koto ga dekimasendeshita. Sono ato, shonin, keitai denwa gijutsusha, kensetsu sagyoin, kojo oyobi tenpo jugyoin, Nihongo kyoushi nado samazama na shokugyo o keiken shi, genzai wa Nihon de kaigo-shoku to shite hataraiteimasu.

Genzai, Ngudi Waryuo Daigaku no Nihon Bungaku gakushi katei 4 gakki ni zaiseiki shiteori, kono bunshou wa Tegu Santoso sensei (Bungakushi, Bungaku Shushi) ga tantou suru hon’yaku tsuuyaku ron no chukan shiken no kadai to shite sakusei saremashita.

Mata, Nihon de Nihongo Noryoku Shiken (JLPT) N2 o shutoku shiteori, 2026-nen 1-gatsu ni jisshi sareru kokka kaigo shiken no junbi o shiteimasu.

 Versi Bahasa Inggris

Ghost Child-Rearing Candy 

I have been living in Japan for five years. I first came on a Technical Intern Visa, and I am currently staying under a Specified Skilled Worker Visa, working in a caregiving facility. However, I have never experienced any horror or mystery firsthand in Japan.

That changed when I started hearing mysterious and scary stories from the elderly residents at the facility. Some of these stories were told directly by the people I care for. I cannot confirm whether they actually happened or not, but they are incredibly intriguing. This time, I would like to share one story that left a strong impression on me.

This is a tale said to have occurred around 400 years ago in Kyoto. As a city rich in history, Kyoto has many tourist spots tied to local legends and mysterious stories. Among them, there is one heartwarming ghost story that reminds us that a mother’s love lasts forever.

Long ago, during the Edo period, there was a small candy shop. One night after the shop had closed, someone knocked on the door with a “knock knock.” When the shop owner opened the door, a woman was standing there. She said:

“Please sell me some candy. I desperately want some.”

Though the owner was suspicious, he asked:

“At this hour, just to buy candy?”

The woman replied, “Yes, I really want some candy.”

With hesitation, the shopkeeper responded, “Well then, just one piece,” and sold her some candy.

The next night, at the same time, the same woman returned and knocked again.

“Please give me some candy,” she asked.

The owner said, “Do you have any money?”

She replied apologetically, “I’m sorry, I don’t have any today.”

Angered, the shopkeeper said, “If you don’t have money, I can’t give you candy! Coming here so late at night is troublesome!”

Then the woman quietly took off her kimono and said:

“May I trade this kimono for candy?”

Surprised, the shopkeeper answered, “Alright, I’ll accept your kimono and give you candy equal to its value.”

The next day, he washed the kimono and hung it outside the shop to dry. A passing man saw the kimono and rushed into the store in shock.

“Where did you get that kimono?” he asked.

When the shopkeeper explained, the man turned pale and said trembling:

“Recently, my younger sister passed away. That kimono looks exactly like the one she was buried in.”

Hearing this, the shopkeeper suspected the truth and said:

“Perhaps the woman who came for candy was your sister. If she comes again, I’ll follow her.”

That night, the woman came again. The shopkeeper asked:

“Do you want candy again?”

“Yes,” she replied.

“This time, I’ll give it to you for free,” the shopkeeper said as he handed her the candy.

“Thank you,” she said, and turned around and disappeared into the night.

The shopkeeper secretly followed her and ended up at a grave near a temple. Wondering if she was eating candy from inside the grave, he suddenly heard a baby crying:
“Waaah!”

Frightened, the shopkeeper ran home immediately.

The next day, he visited the temple with the man from before and again heard the baby crying. When they checked, they found an actual baby inside the temple.

It turned out that the woman had died while pregnant due to illness. No one knew, but miraculously, the baby had been born alive.

The baby was then taken in by the woman’s older brother and raised with care. In time, he grew up and became a monk at that very temple.

A mother’s love transcends death, continuing to protect and guide her child.
The mother’s wish—“Become a monk”—reached the heavens as a prayer and eventually came true.

To honor this tale, even today in Kyoto, a candy known as "Yūrei Kosodate Ame" (Ghost Child-Rearing Candy) still exists. The same candy shop remains in business, and the temple itself continues to sell the candy as well.

About the Author
Fahrul Rozi was born in Indramayu on June 22, 1989. He is currently working in Japan as a caregiver for the elderly. He completed his elementary education at SDN 1 Patrol, Indramayu. Afterwards, he pursued religious education at Pondok Pesantren Al-Mu’minien in Indramayu and Al-Ashriyyah Nurul Iman in Bogor.

Fahrul studied both formal and non-formal education in pesantren (Islamic boarding schools) until the fourth semester of university. However, due to certain circumstances, he was unable to continue his studies at that time. Since then, he has worked in various professions, including as a merchant, mobile phone technician, construction worker, factory and store employee, and Japanese language teacher. Currently, he resides in Japan and works as a caregiver.

He is now enrolled in the fourth semester of the Bachelor's degree program in Japanese Literature at Ngudi Waluyo University. This paper was written as a midterm assignment for the course Honyaku Tsuyaku, taught by Mr. Teguh Santoso, S.Hum., M.Hum.

Fahrul has obtained the JLPT N2 certificate in Japan and is currently preparing for the national Kaigo examination scheduled for January 2026.


 


Komentar

Tampilan Pengunjung

Bisikan dari Kegelapan

Contoh Presentasi Bahasa Jepang dalam Seminar

Pengalaman Pertama menjadi Penerjemah Bahasa Jepang